HUKUM WAKAF DI INDONESIA
(Perkembangan Peraturan Wakaf Sebelum UU No. 41 Tahun 2004)
Oleh: UJANG SUTARYAT
NPM. 066.1180
A. Pendahuluan
Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt.
dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum
Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah
mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan
masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial
ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang
berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah Swt.,
lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam
Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak
dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan
eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si
miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit
masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.
Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia
sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam
di negara Indonesia. Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang
terpenting dalam syari'at Islam, sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan
ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin.
Kajian wakaf sebagai pranata sosial merujuk pada tiga corpus, yaitu:
1. Wakaf sebagai lembaga keagamaan, yang sumber datanya meliputi: Quran,
Sunnah, dan Ijtihâd;
2. Wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara itu;
3. Wakaf sebagai lembaga kemasyarakatan atau suatu lembaga yang hidup di
masyarakat berarti mengkaji wakaf dengan tinjauan sosial yang meliputi fakta
dan data yang ada dalam masyarakat.
Pada tulisan yang sederhana ini, penulis akan mencoba memaparkan wakaf sebagai
lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara Indonesia mulai zaman Kolonial Hindia Belanda, zaman
kemerdekaan, mulai keluarnya UU No. 5 Tahun 1960 sampai keluarnya PP No. 28
Tahun 1977, dan Kompilasi Hukum Islam.
B. Pengertian, Unsur-unsur, dan Macam-macam Wakaf
Menurut pengertian bahasa, kata wakaf diambil dari bahasa Arab, kata benda
abstrak (maşdar) وقف atau kata kerja (fi`il) وقف- يقف yang dapat berfungsi
sebagai kata kerja intransitif (fi`il lâzim) atau transitif (fi`il muta`âdi)
yang berarti menahan, mewakafkan, harta yang diwakafkan, harta wakaf. Dan kata
wakaf ini dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama dengan beberapa kata di antaranya:
( حبس - احبس – صدقة – تحريم – سبيل – يسبل - سبل ). Sedangkan menurut istilah
ada beberapa definisi wakaf, di antaranya:
1. EJ. Bill Leiden dalam The Shorter Encyclopaedia of Islam sebagaimana dikutip
oleh Muhamad Daud Ali menyatakan bahwa wakaf adalah to protect a thing, to
provent it from becoming the property of a third person (memelihara suatu
barang atau benda dengan jalan menahannya agar tidak menjadi milik pihak
ketiga).
2. Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa wakaf
adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.
3. Mayoritas ahli fiqih (pendukung mazhab Hanafi, Syafi`i, dan Hambali)
merumuskan pengertian wakaf menurut syara sebagai berikut:
حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقظع التصرف في رقبته على مصرف مباح موجود
"Penahanan (pencegahan) harta yang mungkin dimanfaatkan tanpa lenyap
bendanya dengan cara tidak melakukan tindakan pada bendanya disalurkan kepada
yang mubah (tidak terlarang) dan ada"
4. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf,
yaitu:
Menahan harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat
dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan
tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau
mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak
haram) yang ada.
Dari definisi-definisi di atas dapat dikemukakan karakteristik wakaf, yaitu:
adanya penahanan (pencegahan) dari menjadi milik dan obyek pemilikan, yang
diwakafkan berupa harta, dapat dimanfaatkan (mengandung manfaat), tidak boleh
dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan disalurkan kepada hal-hal yang tidak
dilarang oleh ajaran Islam.
Penyelenggaraan wakaf harus memenuhi empat unsur, yaitu:
1. Wâkif, yakni pihak yang menyerahkan wakaf;
2. Mauqûf 'alaih, yakni pihak yang diserahi wakaf;
3. Mauqûf Bih, yakni benda atau manfaat benda yang diwakafkan;
4. Şigat atau iqrâr, yakni pernyataan penyerahan wakaf dari pihak wakif.
Wakaf itu adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah
mereka itu untuk orang-orang fakir miskin. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf
ahli atau wakaf żurri (wakaf keluarga). Bila wakaf tersebut diperuntukkan bagi
kebajikan semata-mata, maka wakaf seperti ini disebut wakaf ħairi.
C. Pandangan Fuqaha tentang Wakaf
1. Abu Hanifah
Abu Hanifah mengartikan wakaf sebagai şadaqah yang kedudukannya seperti
'ariyah, yakni pinjam meminjam. Perbedaan antara keduanya terletak pada
bendanya. Dalam 'ariyah, benda ada di tangan si peminjam sebagai pihak yang
menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Sedangkan benda dalam wakaf ada di
tangan si pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil manfaat benda itu.
Dengan demikian, benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif
sepenuhnya, hanya manfaatnya saja yang dişadaqahkan. Oleh karena itu, wakaf
tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti gair lâzim, kecuali dalam tiga hal,
yaitu: (1) wakaf masjid, (2) apabila hukum wakaf itu diputuskan oleh hakim, dan
(3) apabila benda wakaf itu dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf
wasiat.
Mengenai akad wakaf dinyatakan oleh semua mazhab sebagai 'aqad tabarru', yaitu
transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qâbul dari
pihak penerima dan dicukupkan atas ijâb si wakif.
2. Imam Malik
Menurut teori Imam Malik, wakaf itu mengikat dalam arti lâzim, tidak mesti
dilembagakan secara abadi dalam arti mu'abbad dan boleh saja diwakafkan untuk
tenggang waktu tertentu (mu'aqqat). Namun demikian, wakaf itu tidak boleh
ditarik di tengah perjalanan. Dengan kata lain, si wakif tidak boleh menarik
ikrar wakafnya sebelum habis tenggang waktu yang telah ditetapkannya. Harta
atau benda yang diwakafkan adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis dan tahan
lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si wakif tidak mempunyai
hak untuk menggunakan harta tersebut (taşarruf) selama masa wakafnya belim
habis. Jika dalam şigat atau ikrar wakaf itu tidak menyatakan dengan tegas
tenggang waktu perwakafan yang ia kehendaki, maka dapat diartikan bahwa ia
bermaksud mewakafkan hartanya itu untuk selamanya (mu'abbad). Landasan hukum yang
dijadikan rujukan Imam Malik adalah hadis Ibn 'Umar yang berbunyi:
…أصاب عمرأرضابخيبرفأتى النبي صلعم يستأمره فيهافقال يارسول الله اني أصبت أرضالم
أصب قط مالاأنفس عندي منه فماتأمرني فيه؟ قال ان شئت حبست أصلهاوتصدقت بهاغيرعلى
أنه ولايباع أصلهاولايبتاع ولايوهب ولايورث قال فتصدق بهاعمر فى الفقراء وذوالقربى
والرقاب وابن السبيل. لاجناح على من وليهاأن يأكل منهابالمعروف ويطعم غيرمتمول
"وفى اللفط" غيرمتأثل مالا
…Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia dating kepada Rasulullah Saw.
meminta untuk mengolahnya seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki
sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku
harus berbuat?" Nabi bersabda: "Jika Kau menginginkannya, tahanlah
itu dan shadaqahkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau
diperjualbelikan, dihibahkan, atau diwariskan. Ibn 'Umar menshadaqahkannya
(mewakafkan tanah Khaibar itu) kepada fakir miskin, karib kerabat, budak
(riqab) dan ibn sabil. Tidaklah berdosa bagi orang yang mengurus harta wakaf
itu untuk menggunakannya sekedar keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu
(mutamawwil). Sedang dalam riwayat lain digunakan lafaz gair mutaaśśil, yakni
tanpa tujuan untuk menguasai harta wakaf itu.
3. Imam al-Syafi'i
Imam al-Syafi'i menamakan wakaf dengan istilah al-şadaqat, al-şadaqat
al-muharramat, al-∏adaqat al-muharramat al-mauqûfat. Selanjutnya ia membagi
jenis pemberian ke dalam dua macam, yaitu: (1) pemberian yang diserahkan si
pemberi ketika ia masih hidup dan (2) pemberian yang diserahkan ketika si
pemberi telah wafat. Menurut pendapat al-Syafi'i, Status hukum wakaf dan
al-'itq (pembebasan hamba sahaya) adalah sama berdasarkan qiyâs. Keduanya
dianggap memiliki kesamaan 'illat, yaitu kemerdekaan dalam al-'itq sama dengan
mengeluarkan harta milik dalam perwakafan. Al-Syafi'i berpegang kepada
persamaan antara kedua status hukum institusi tersebut dari segi adanya bentuk
penyerahan benda atau harta itu kepada Allah sehingga si harta itu menjadi
milik Allah. Oleh karena itu, dalam kedua kasus hukum tersebut terdapat persamaan,
yaitu pelepasan milik si wakif sehingga menjadi milik Allah.
D. Perkembangan Peraturan Wakaf di Indonesia
Wakaf yang berasal dari lembaga hukum Islam telah diterima oleh hukum adat
bangsa Indonesia sejak dahulu di berbagai daerah di Nusantara ini. Praktek
mewakafkan tanah untuk keperluan umum terutama untuk keperluan peribadatan atau
sosial seperti masjid, surau, sekolah, madrasah, dan kuburan telah dilaksanakan
oleh bangsa Indonesia sejak dulu.
Peraturan tentang wakaf yang bertujuan untuk mengatur dan mengawasi tanah wakaf
telah banyak dikeluarkan sejak zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
pemerintah zaman kemerdekaan sampai terbitnya perundang-undangan yang mengatur
tentang perwakafan, antara lain Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik jo. PMDN No. 6
Tahun 1977 dan PMA No, 1 Tahun 1978, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam.
1. Peraturan Wakaf Zaman Kolonial Hindia Belanda
Pada zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda telah dikeluarkan
peraturan-peraturan, yaitu:
a. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No. 435
sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezict opden bouw
van Mohammedaansche bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala
wilayah mengharuskan para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadat bagi orang
Islam. Dalam daftar itu harus dimuat asal-usul tiap rumah ibadat dipakai shalat
jum'at atau tidak, keterangan tentang segala benda yang tidak bergerak yang
oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau dengan
nama lain.
b. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361/A termuat
dalam Bijblad No. 125/3 tahun 1931 tentang Toezict van de Regering op
Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini
merupakan kelanjutan dan perubahan dari Bijblad No. 6196, yaitu tentang
pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan orang Islam, sembahyang
jum'at dan wakaf. Untuk mewakafkan tanah tetap harus ada izin Bupati, yang
menilai permohonan itu dari segi tempat wakaf dan maksud pendirian.
c. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A
termuat dalam Bijblad No. 13390 tahun 1934 tentang Toezict de Regering op
Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini
mempertegas SE sebelumnya. Di dalamnya antara lain disebutkan seandainya dalam
mengadakan shalat jum'at terdapat sengketa dalam masyarakat Islam, Bupati boleh
memimpin usaha mencari penyelesaian asalkan dimintakan oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
d. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A termuat
dalam Bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezict van de Regering op
Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran ini
antara lain ditentukan bahwa Bijblad No. 61696 menginginkan registrasi tanah
wakaf yang dapat dipercaya. Maksud untuk mewakafkan tetap harus diberitahukan
kepada Bupati agar ia mendapat kesempatan untuk mendaftarkan wakaf tersebut dan
meneliti apakah ada peraturan umum atau peraturan setempat yang melanggar dalam
pelaksanaan maksud itu.
2. Peraturan Wakaf Zaman Kemerdekaan
Pada zaman kemerdekaan telah dikeluarkan pula beberapa ketentuan tentang wakaf
ini, baik penunjukkan instansi yang mengurusnya dan juga teknis pengurusannya.
Antara lain dapat kita lihat dari ketentuan-ketentuan di bawah ini:
a. Departemen Agama lahir pada tanggal 03 Januari 1946. Dalam PP. No. 33 Tahun
1949 jo. No. 8 Tahun 1950 disebutkan bahwa tugas pokok atau lapangan tugas
pekerjaan Kementrian Agama RI adalah di antaranya: … k. menyelidiki,
menentukan, mendaftar, dan mengawasi pemeliharaan wakaf-wakaf.
b. Dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1958 tentang lapangan tugas, susunan,
dan Pimpinan Kementrian Agama RI, disebutkan bahwa lapangan tugas kementrian
Agama RI adalah: … 25. Menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi
wakaf-wakaf umum, dan wakaf masjid, dan bersama-sama dengan Kementrian Agraria
dan Dalam Negeri mengatur soal-soal yang bersangkut-paut dengan perwakafan.
c. Dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1958 disebutkan bahwa lapangan
tugas Jawatan Urusan Agama (JAURA) yaitu salah satu jawatan dalam Departemen
Agama meliputi: … 18. Menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi
wakaf-wakaf umum, dan wakaf masjid, dan bersama-sama dengan Kementrian Dalam
Negeri mengatur soal-soal yang bersangkut-paut dengan perwakafan.
d. Menurut Keputusan Menteri Agama No. 114 Tahun 1969 jo. No. 18 Tahun 1975
disebutkan bahwa di Tingkat Pusat pengurusan wakaf ini termasuk dalam wewenang
Direktorat Urusan Agama (DITURA) Sub Direktorat Zakat, Wakaf, dan Ibadah Sosial
(Zawaib). Di Tingkat Provinsi/tingkat wilayah termasuk tugas bidang Urusan
Agama Islam seksi Zakat, Wakat, dan Ibadah Sosial. Di tingkat Kabupaten menjadi
tugas wewenang Seksi Urusan Agama Islam dan akhirnya di tingkat Kecamatan
menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama Kecamatan. Berdasarkan ketentuan
terakhir, bahwa Kepala KUA Kecamatan ditunjuk sebagai PPAIW mempunyai tugas dan
wewenang untuk pengesahan nażir.
e. Untuk melaksanakan tugasnya di bidang perwakafan ini, Departemen Agama RI
telah mengeluarkan berbagai peraturan dan petunjuk yang berhubungan dengan
wakaf, antara lain: (1) Surat JAURA No. 3/D/1956 tanggal 08 Oktober 1956, (2)
Surat Edaran JAURA No. 5/D/1956, dan (3) Instruksi JAURA No. 6 Tahun 1961
tanggal 31 Oktober 1961.
f. Tata cara mewakafkan tanag yang berlaku sebelum berlakunya PP. No. 28 Tahun
1977, antara lain dapat dilihat dari bentuk blanko wakaf yang disebut
"Surat Pernyataan Wakif" (SPW, model D.2 1960), "Peta Tanah
Wakif" (PTW), dan "Surat Pernyataan Nazir" (SPN, model D.3
1960).
3. UU No. 5 Tahun 1960.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria, masalah wakaf dapat diketahui pada pasal 5,
pasal 14 ayat (1), dan pasal 49 yang memuat rumusan-rumusan sebagai berikut:
a. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara … segala sesuatu dengan mengindahkan unsur yang berstandar
pada hukum agama. Dalam rumusan pasal ini, jelaslah bahwa hukum adatlah yang
menjadi dasar hukum agraria Indonesia, yaitu hukum Indonesia asli yang tidak
tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang di sana-sini mengandung unsur
agama yang telah diresipir dalam lembaga hukum adat khususnya lembaga wakaf.
b. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme
Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan dan penggunaan bumi,
air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk
keperluan Negara, untuk keperluan peribadatan, dan keperluan-keperluan suci
lainnya, sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan seterusnya. Dalam rumusan
UUPA pasal 14 ini terkandung perintah kepada pemerintah Pusat dan Daerah untuk
membuat skala prioritas penyediaan peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan
ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah Pusat maupun
Daerah termasuk pengaturan tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan
dan kepentingan suci lainnya.
c. Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa (1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan
sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial
diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah
yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. (2)
Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud pasal
14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai.
(3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Pasal-pasal ini memberikan ketegasan bahwa soal-soal yang bersangkut-paut
dengan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya dalam hukum agraria akan
mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Terkait dengan rumusan tersebut,
Pemerintah RI telah mengeluarkan peraturan tentang perwakafan tanah hak milik
yaitu PP. No. 28 Tahun 1977.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 terdiri atas tujuh bab delapan belas
pasal yang meliputi pengertian, syarat-syarat, fungsi, tata cara, dan
pendaftararan wakaf, ketersediaan tenaga yang menangani pendaftaran wakaf,
perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan wakaf, ketentuan pidana,
serta ketentuan peralihan.
Menindaklanjuti PP Nomor 28 Tahun 1977 telah dikeluarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 yang mengatur tentang tatacara pendaftaran
perwakafan tanah hak milik yang memuat antara lain persyaratan tanah yang
diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, proses pendaftaran, biaya
pendaftaran, dan ketentuan peralihan. Selanjutnya Peraturan Menteri Agama Nomor
1 Tahun 1978 memerinci lebih lanjut tentang tata cara perwakafan tanah milik, antara
lain tentang ikrar wakaf dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak dan
kewajiban nażir, perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan,
penyelesaian perselisihan tanah wakaf, serta biaya perwakafan tanah milik.
Maksud dikeluarkannya PP Nomor 28 Tahun 1977 adalah untuk memberikan jaminan
kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan
wakaf. Berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf dengan demikian dapat
diminimalisir. Namun demikian, masih dirasakan adanya hambatan dan atau
permasalahan terkait dengan PP nomor 28 Tahun 1977 ini, antara lain:
a. Tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah hak milik dan badan-badan sosial
keagamaan dijamin dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak pakai. Bagaimana
wakaf tanah dengan hak guna bagunan atau guna usaha yang di dalam prakteknya
dapat diperpanjang waktunya sesuai dengan tujuan pemanfaatan wakaf.
b. Penerima wakaf (nażir) disyaratkan oleh peraturan mempunyai cabang atau
perwakilan di kecamatan di mana tanah wakaf terletak. Dalam pelaksanaannya
menimbulkan kesulitan dan justru menimbulkan hambatan. Terkait dengan masalah
tersebut, bagaimana jika nażir itu bersifat perorangan atau perkumpulan yang
tidak memiliki cabang atau perwakilan.
c. PP Nomor 28 Tahun 1977 hanya membatasi wakaf benda-benda tetap khususnya
tanah. Bagaimana wakaf yang objeknya benda-benda bergerak selain tanah atau
bangunan.
d. Hambatan-hambatan lain yang bersifat non-yuridis, antara lain kesadaran
hukum masyarakat akan pentingnya sertifikasi wakaf, ketersediaan tenaga yang
menangani pendaftaran/sertifikasi wakaf serta peningkatan kesadaran para nażir
akan tugas dan tanggung jawabnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dibuat berdasarkan tiga motif utama,
yaitu:
a. Motif keagamaan sebagaimana tercermin dalam konsiderannya yang menyatakan
bahwa "wakaf sebagai lembaga keagamaan yang sifatnya sebagai sarana
keagamaan". Dalam hal ini adalah motif agama Islam. Kalau UUPA
berlandaskan tujuan untuk mencapai "sosialisme Indonesia", maka PP
ini bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan spiritual dan material menuju
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
b. Peraturan perwakafan sebelumnya tidak memadai bagi penertiban hukum
perwakafan secara tuntas, bahkan menimbulkan berbagai masalah, seperti tidak
adanya data tentang perwakafan.
c. Adanya landasan hukum yang kokoh dengan diundangkannya UUPA No. 5 Tahun
1960, khususnya pasal 14 (1) huruf b, dan pasal 49 (3).
Beberapa point penting yang terdapat dalam penjelasan umum PP no. 28 Tahun 1977
adalah sebagai berikut:
a. Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan
tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Masalah perwakafan tanah
milik ini sangat penting ditinjau dari sudut pandang Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960.
b. Bahwa pada waktu yang lampau pengaturan tentang perwakafan tanah milik tidak
diatur secara tuntas dalam bentuk peraturan perundang-undangan sehingga
memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakikat tujuan wakaf itu sendiri,
terutama disebabkan karena banyaknya ragam perwakafan, seperti wakaf keluarga,
wakaf umum, dan lain-lain. Tidak adanya keharusan mendaftarkan tanah milik yang
diwakafkan telah mengakibatkan, bukan saja tidak tercatatnya tanah wakaf,
melainkan juga beralihnya status wakaf menjadi milik perorangan yang diwariskan
turun temurun.
c. Kejadian-kejadian tersebut di atas telah menimbulkan keresahan di kalangan
masyarakat Islam yang menjurus kepada sikap antipati terhadap pelaksanaan
wakaf.
d. Penjelasan PP tersebut menyatakan bahwa yang terkandung di dalamnya adalah
bentuk wakaf khairi, dan bentuk wakaf hanyalah wakaf tanah milik. Benda-benda
wakaf lainnya belum diatur.
Unsur-unsur wakaf yang dijelaskan dalam PP ini adalah:
a. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya
untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya
sesuai dengan ajaran agama Islam.
b. Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan
tanah miliknya.
c. Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
d. Nażir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
3. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 berisi Instruksi Presiden untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam ---selanjutnya disingkat KHI--- yang
terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan,
dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Hukum Perwakafan terdiri dari lima bab
dan lima belas pasal yang memuat ketentuan umum tentang wakaf, fungsi,
unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, kewajiban dan hak-hak nażir, tata cara
perwakafan, pendaftaran wakaf, perubahan benda wakaf, penyelesaian perselisihan
benda wakaf, pengawasan dan ketentuan peralihan. KHI ini disusun dengan maksud
untuk dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan
dengan ketiga bidang hukum tersebut, baik oleh instansi pemerintah maupun oleh
masyarakat yang memerlukannya.
Dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa pedoman yang dipergunakan Peradilan
Agama dalam bidang-bidang hukum tersebut yaitu tiga belas kitab fiqih Mażhab
Syafi'i dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan bahwa
KHI merupakan hasil lokakarya yang diselenggarakan pada bulan Februari 1988 di
Jakarta yang telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia disertai
perbandingan dengan yurisprudensi peradilan agama maupun perbandingan dengan
Negara-negara lain.
Beberapa catatan terhadap KHI dan pelaksanaannya dapat disampaikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Dari sisi formal, KHI diberi baju dalam bentuk Instruksi Presiden yang oleh
sementara pihak dianggap kurang kuat karena tidak memiliki landasan
hukum/rujukan konstitusi maupun Ketetapan MPR yang selama ini ada. Namun
pendapat ini disanggah oleh Prof. DR. Ismail Sunny yang merujuk pada pasal 4
ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 17 tentang wewenang Presiden untuk menetapkan peraturan-peraturan
dan kebijakan dalam rangka menjalankan pemerintahan serta para menteri Negara
sebagai pembantu Presiden memimpin departemen untuk melaksanakan keputusan dan
atau instruksi presiden. Oleh karena itu, akan semakin kuat dan mantap apabila
KHI yang di dalamnya mengatur tentang hukum perwakafan dapat ditingkatkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk
Peraturan Pemerintah atau Undang-undang.
2. Dari sisi substansial atau materi, KHI hanya memuat beberapa ketentuan
masalah wakaf menurut hukum Islam. Oleh karena itu, seyogyanya merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dengan peraturan perundangan yang lain dalam hal ini PP
nomor 28 Tahun 1977 sehingga perlu disatukan dalam bentuk Undang-undang. Dalam
konteks perwakafan, maka lembaga hibah dan wasiat merupakan cara penyampaian
kehendak dari pihak pemberi wakaf kepada penerima wakaf. Oleh karena itu selain
diatur dalam hukum pewarisan, seharusnya juga diatur dan dimasukan ke dalam
salah satu bagian tentang pemberian wakaf dengan cara wasiat (baik lisan maupun
tertulis) serta pemberian wakaf dengan cara hibah-wakaf.
3. Dalam kaitannya dengan PP 28 Tahun 1977, maka penyelesaian perselisihan
perwakafan tanah milik atau menurut KHI penyelesaian perselisihan benda wakaf,
seyogyanya tidak hanya melalui proses perdata (Pengadilan Agama) tetapi dapat
pula diajukan secara pidana sebagaimana diatur pada pasal 14 dan 15 PP 28 Tahun
1977.
4. Perlu diatur lebih lanjut tentang perubahan benda wakaf atas dasar alasan tidak
sesuai dengan tujuan wakaf dan atau karena adanya alasan kepentingan umum
sebagaimana diatur dalam pasal 225 KHI agar tidak menyalahi ketentuan-ketentuan
Syariat Islam serta tujuan pemberian wakaf semula dalam ikrak wakaf.
Mengenai unsur-unsur wakaf, dalam KHI dijelaskan sebagai berikut:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan
benda miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda
miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak
yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut
ajaran Islam.
(5) Nażir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
Bila perwakafan yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dibandingkan dengan
perwakafan yang diatur dalam KHI pada dasarnya sama. Dalam beberapa hal, hukum
perwakafan dalam Kompilasi tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan
pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islamm di antaranya:
a. Obyek wakaf.
Menurut KHI, bahwa obyek wakaf tersebut tidak hanya berupa
tanah milik sebagaimana disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 1977. Obyek wakaf
menurut kompilasi lebih luas. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 215
(4) yang berbunyi: "Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak
atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan
bernilai menurut ajaran Islam".
b. Sumpah Nażir
Nażir sebelum melaksanakan tugas harus melaksanakan sumpah di hadapan Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan. Hal ini diatur dalam pasal 219 ayat 4 yang
berbunyi:
Nażir sebelum melaksanakan tugas harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan oleh sekurang-kurangnya oleh dua orang
saksi.
c. Jumlah Nażir
Jumlah nażir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan sekurang-kurangnya
terdiri dari tiga orang dan sebanyak-banyaknya sepuluh orang yang diangkat oleh
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas dasar Majelis Ulama dan Camat
setempat.
d. Perubahan Benda Wakaf
Menurut pasal 225 perubahan benda wakaf hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal
tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan, dan
camat setempat.
e. Pengawasan Nażir
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nażir dilakukan secara
bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama
Kecamatan, dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya.
f. Peranan Majelis Ulama dan Camat
KHI dalam hal perwakafan memberikan kedudukan dan peranan yang lebih luas
kepada Majelis Ulama Indonesia Kecamatan dan Camat setempat dibanding dengan
ketentuan yang diatur oleh perundang-undangan sebelumnya.
D. KESIMPULAN
Dari paparan yang sederhana ini, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan,
yaitu:
1. Peraturan tentang wakaf sudah ada sejak zaman Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda dilanjutkan pada zaman kemerdekaan.
2. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu UU No. 5 Tahun 1960 merupakan
unifikasi hukum tanah di seluruh Indonesia (DI. Yogyakarta baru melaksanakan
pada tahun 1984) memperkokoh dasar hukum perwakafan, khususnya perwakafan tanah
milik. Pasal 14 (1) huruf b.
3. Bila perwakafan yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dibandingkan dengan
perwakafan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, maka pada dasarnya sama.
Dalam beberapa hal, hukum perwakafan dalam Kompilasi tersebut merupakan
pengembangan dan penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islamm
di antaranya.
4. PP Nomor 28 Tahun 1977 merupakan pedoman perwakafan di Indonesia yang sudah
relatif lengkap sekalipun masih harus dilengkapi lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1979. Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di
Negara Kita. Bandung:Alumni.
Abidin, HE. Zaenal. 2002. Wakaf dalam Syariat Islam, Kumpulan Makalah Hasil
Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf
Produktif di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari
Al-Syafi'i. t.t. Al-Umm. Mekah: al-Maktabah al-Islamiyyah.
Ali, Muhamad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf . Jakarta: UI
Press.
Djunaedi, Ahmad dkk. 2003. Pedoman Pengelolaan & Pengembangan Wakaf.
Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan
Haji..
Ibrahim, M. Anwar. 2002. Wakaf dalam Syariat Islam, Kumpulan Makalah Hasil
Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf
Produktif di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku III Hukum Perwakafan.
Munawir, Ahmad Warson. 1984. .Al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku-buku Ilmiah Pondok Pesantren Al-Munawir.
PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
Praja, Juhaya S. 1993. Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara.
Surat Keputusan (SK) Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002 M/ 28 Shafar
1423 H.
Usman, Suparman. 1999. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Radar Jaya
Offset.